MENYEBUT NAMAMU DALAM HENING

Puisi Rindu: Aku Menyebut Namamu dalam Hening yang Menyiksa

Diposting pada

Pernah nggak sih, kamu merindukan seseorang sampai-sampai namanya terus bergema di kepala, tapi mulu kelu untuk diucapkan? Rindu yang nggak bisa dikatakan, cuma bisa dibisikkan dalam hati atau ditulis dalam puisi. Nah, puisi ini lahir dari rasa itu— Aku Menyebut Namamu dalam Hening yang Menyiksa adalah curhat tanpa suara, tentang seseorang yang selalu ada di pikiran, tapi nggak pernah benar-benar ‘ada’. Buat kamu yang pernah ngerasain hal serupa, yuk simak puisi ini. Siapa tahu, kamu nggak sendiri…

Menyebut Namamu dalam Hening

Di ruang sunyi yang bisu dan kelam,
Kubisikkan namamu—tanpa suara, tanpa gemam.
Angin pun tak sudi menyampaikan,
Rindu ini, yang hanya jadi tumpahan.

Hening tak pernah semurni dusta,
Di balik diam, ada badai yang menderu.
Kusembunyikanmu di sela nafas,
Sampai pun debu tahu betapa aku merindu.

Namamu, tiga suku kata yang kudekap,
Kulafalkan pelan, lalu tenggelam dalam resah.
Seperti doa yang tak pernah sampai,
Atau luka yang tak mau kering sendiri.

Api itu kecil, tapi cukup membakar,
Membakar ingatan yang tak mau pergi.
Kau jauh, tapi selalu ada di sini—
Di antara denyut nadi dan sunyi.

Di balik kelopak mata saat kupejam,
Kaulah bayangan yang tak mau hilang.
Bahkan gelap tak sanggup menyembunyikan,
Betapa dalamnya aku terjatuh padamu.

Aku tak perlu kata untuk mengungkap,
Cukup diam yang mengerti segalanya.
Tapi kenapa justru dalam kesunyian,
Suara hatiku terdengar paling nyaring?

Katanya waktu bisa mengubur rindu,
Tapi mengapa kian hari kian dalam lukanya?
Mungkin karena kau bukan sekadar kehilangan,
Tapi bagian jiwa yang tercabik tanpa suara.

Apa kabarmu di sana, di tempat yang tak kukenal?
Apa kau pernah dengar bisikan malamku?
Ataukah ini hanya sandiwara hati,
Di mana aku satu-satunya penonton yang menangis?

Kumerasakanmu seperti kopi pahit,
Tak enak, tapi selalu kuhabiskan.
Karena dalam kepahitan itu,
Setidaknya aku masih bisa merasa sesuatu.

Kenangan itu datang tanpa diundang,
Mengetuk pintu hati yang sudah rapuh.
Dan seperti biasa, aku membiarkannya masuk,
Karena tanpa itu, aku lebih hampa dari angin.

Kuberdoa dalam bahasa yang tak kau pahami,
Bahasa rindu yang tak punya terjemahan.
Mungkin suatu hari nanti,
Kau akan mengerti tanpa penjelasan.

Kutulis namamu di atas kertas,
Lalu kurobek perlahan, kubakar pelan.
Karena surat ini takkan pernah sampai,
Seperti perasaanku yang terjebak dalam diam.

Aku masih menunggu, meski tahu,
Kau takkan pernah benar-benar datang.
Tapi apa salahnya berharap,
Jika itu yang membuatku tetap bernafas?

Di cermin, kulihat bayanganmu,
Tersenyum seperti dulu lagi.
Aku ulurkan tangan—dan kau menghilang,
Tinggalkan aku dengan realita yang lebih pedih.

Dan mungkin sampai nanti,
Kau takkan pernah sadar,
Betapa seringnya aku menyebut namu,
Dalam hening yang menyiksa ini.

Nah, itu dia puisi “Menyebut Namamu dalam Hening” —semoga bisa jadi pelampiasan buat kamu yang sedang merasakan rindu diam-diam. Kadang, menulis atau membaca puisi adalah cara paling aman untuk mengungkapkan apa yang nggak bisa kita teriakkan ke dunia.

Kalau puisi ini bikin kamu tersentuh atau malah keinget seseorang (yang bikin senyum-senyum sendiri atau sesekali ngelus dada), berarti aku nggak sendirian dong, ya? Hehe.

Jangan simpan rindumu sendiri! Share puisi ini ke teman yang mungkin butuh. Siapa tahu, ada yang merasakan hal serupa dan akhirnya kalian bisa merindu bersama (atau malah ketawa bareng karena sadar ternyata rindu itu absurd banget).

Sampai jumpa di puisi-puisi berikutnya. Tetap merindu, tapi jangan lupa bahagia juga, ya!

Baca puisi lainnya tentang gamon, romansa dan rindu