Pernah nggak sih ngerasain jatuh cinta sama orang yang semua klik banget… tapi pas digali lebih dalem, prinsip hidup kalian bentrok kayak air dan minyak? Bukan cuma soal agama, tapi gimana lo ngeliat hidup, nilai-nilai yang lo pegang, bahkan masa depan lo arahnya beda planet. Rasanya kayak lagi naik kapal berdua, tapi ujung-ujungnya… lo turun di Pelabuhan Ratu, dia nyampe di Ancol!
Nah, puisi ini gue persembahin buat lo yang lagi mangu-manguin cinta yang mentok gegara beda haluan. Semoga jadi teman setia pas lo begadang mikirin dia, sambil ngopi dan ngerelain apa yang emang nggak bisa dipaksain.”
Cinta Mangu
Aku mencintaimu dalam sunyi yang panjang,
Di antara prinsip yang tak bisa ku buang.
Kita bicara tentang masa depan,
Tapi arahmu bukan jalan yang ku pandang.
Kau percaya pada cahaya yang lain,
Sedang aku berteduh di bayang-bayang iman.
Bukan salahmu, bukan salahku,
Hanya semesta tak merestui rindu.
Kita tertawa di atas luka,
Menari di antara logika dan rasa.
Aku ingin bertahan sepenuh jiwa,
Tapi prinsipmu adalah tembok yang nyata.
Kau bilang cinta itu cukup,
Tapi hidup tak hanya tentang peluk.
Ada nilai yang tak bisa ku lepas,
Ada keyakinan yang tak bisa kau ubah.
Kita bukan dua insan yang tak saling cinta,
Kita hanya tak punya jalan yang sama.
Aku termenung di ujung malam,
Mangu dalam cinta yang tak bisa ku genggam.
Kau adalah puisi yang indah,
Tapi tak bisa ku baca dalam kitab hidupku.
Kita saling mengerti sepenuh rasa,
Tapi tak bisa saling memiliki selamanya.
Aku ingin memelukmu tanpa ragu,
Tapi dunia kita terlalu jauh.
Kau adalah mimpi yang tak bisa ku kejar,
Karena jalanmu bukan arah yang ku sadar.
Cinta ini bukan tentang menyerah,
Tapi tentang tahu kapan harus pasrah.
Aku tak ingin membencimu,
Aku hanya belajar merelakanmu.
Kita pernah jadi satu dalam rasa,
Tapi tak bisa jadi satu dalam makna.
Aku akan mencintaimu dari jauh,
Tanpa harap, tanpa keluh.
Biarlah cinta ini jadi kenangan,
Yang tak perlu penjelasan.
Cinta mangu, cinta yang tak salah,
Hanya kita beda arah.
Aku tak menyesal pernah mencintaimu,
Meski akhirnya harus melepaskanmu.
Kita adalah kisah yang indah,
Yang tak bisa berakhir bahagia.
Kau adalah musim yang tak pernah tiba,
Aku adalah langit yang tak bisa menyapa.
Kita bertemu di persimpangan rasa,
Lalu berpisah tanpa kata.
Aku menyimpanmu dalam doa yang lirih,
Meski tak lagi bisa kau raih.
Cinta ini tak akan mati,
Hanya tak bisa hidup di realita.
Kita adalah dua kutub yang saling tarik,
Tapi tak bisa bersatu dalam logik.
Aku mencintaimu dengan sadar,
Bahwa akhirnya kita harus bubar.
Kau adalah lagu yang tak bisa ku nyanyikan,
Karena nadanya tak sesuai dengan keyakinan.
Aku adalah bait yang kau tinggalkan,
Dalam puisi yang tak kau selesaikan.
Cinta mangu, cinta yang termenung,
Di antara harapan yang tak bisa disambung.
Aku dan kamu beda arah,
Tapi pernah satu dalam rasa yang megah.
Kita adalah pelangi yang tak lengkap warna,
Indah tapi tak sempurna.
Aku tak akan melupakanmu,
Meski tak bisa bersamamu.
Kau adalah cahaya di lorong gelapku,
Tapi bukan tujuan akhirku.
Aku mencintaimu dengan jujur,
Meski harus berakhir tanpa tutur.
Cinta ini tak akan ku sesali,
Meski harus ku akhiri.
Kita pernah jadi satu cerita,
Yang kini tinggal kenangan semata.
Cinta mangu, cinta yang tak bersatu,
Tapi tetap hidup dalam kalbu.
Aku dan kamu beda arah,
Namun pernah saling menyemai indah.
Cinta nggak wajib happy ending, sob! Kadang, rasa yang paling dalem malah harus lo lepasin gegara prinsip hidup lo dan dia kayak minyak vs air — nyatu? Nggak mungkin. Puisi ini gw bikin buat lo yang lagi butuh ruang: buat merenung, mangu-mangu sebentar, dan akhirnya ngeh bahwa nggak semua cerita cinta harus punya ending serupa.
Semoga bait-bait tadi bisa jadi ‘obat galau’ buat lo yang lagi berjuang ikhlasin. Bukan karena nggak cinta, tapi justru karena sayang banget, lo tau kapan harus berhenti. Percaya deh, ngalah itu bentuk cinta yang paling dewasa.
Baca puisi lainnya: Kanvas Cinta Kita: Tak Ada Ruang untuk Berpisah